Kitab Syarh Shahih Muslim (Imam Nawawi) & at-tidzkar fi afdhali al-adzkar (Imam Qurtubi) : Hadits “jariyah” bukan Dalil Dzat Allah bertempat / di dalam langit
Hadits Jariyah Menurut Imam Nawawi
Sebuah Hadits yang biasa digunakan Salafi Wahabi untuk menipu ummat demi membenarkan aqidah sesat mereka, siasat sesat ini memang sangat efektif untuk menyesatkan orang awam, karena mereka berdusta atas nama Rasulullah SAW, yaitu satu kisah seorang hamba (jariyah) yang terdapat dalam satu Hadits, ketika Rasul bertanya kepada hamba tersebut “Dimana Allah” lalu hamba tersebut menjawab “di atas langit”. Tentu saja bila diartikan dengan hawa nafsu, kisah tersebut sudah cukup meyakikan bahwa “Allah berada di atas langit” dengan tanpa menghiraukan bagaimana pemahaman dan penjelasan para ulama tentang kisah jariyah tersebut, dan ternyata tidak ada satupun ulama salaf atau khalaf yang berdalil dengan kisah jariyah ini seperti cara berdalil nya Salafi Wahabi, bahkan kisah jariyah tersebut terdapat kontroversi yang banyak baik pada sanad nya maupun pada matan nya, dan terlepas dari segala kontroversi yang ada pada nya, bila ingin berpegang dengan kisah tersebut, tentu harus melihat dan mempertimbangkan bagaimana cara Ulama memahami kisah jariyah itu, kecuali bagi mereka yang lebih mendahulukan hawa nafsu nya atas pemahaman para Ulama.Imam Nawawi menuliskan tentang pemahaman kisah jariyah menurut Ahlus Sunnahdalam Syarah Shohih Muslim jilid 5 halaman 24 sebagai berikut :
Imam Nawawi menuliskan tentang pemahaman kisah jariyah menurut Ahlus Sunnahdalam Syarah Shohih Muslim jilid 5 halaman 24 sebagai berikut :
هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الايمان أحدهما الايمان به من غير
خوضفي معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيهه عن سمات المخلوقات والثاني تأويله بما يليق به فمن
قال بهذا قال كان المراد امتحانها هل هيموحدة تقر
بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي اذا دعاه الداعي استقبل السماء كما
اذا صلى المصلي استقبل الكعبة وليس ذلك لأنه منحصر فيالسماء كما أنه
ليس منحصرا في جهة الكعبة بل ذلك
لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثان التي بينأيديهم فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للأوثان قال القاضي عياض لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهمومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عندجميعهم
“Hadits ini sebagian dari Hadits-Hadits sifat, dan tentang nya ada dua Madzhab yang telah disebutka beberapa kalipada bab Iman,
yang pertama adalah beriman dengan nya tanpa masuk dalam makna nya, serta meyakini bahwaAllah taala tidak sama dengan sesuatu pun, dan mensucikan-Nya dari tanda-tanda makhluk, dan yang keduaadalah menta’wilnya dengan makna yang layak dengan Allah, maka orang yang berpendapat dengan pendapat ini(pendapat Ta’wil) berkata maksud Hadits tersebut adalah menguji nya (mencari tahu) adakah ia seorang yangbertauhid yang mengakui bahwa yang menciptakan lagi yang mengatur lagi yang maha perkasa adalah Allahsemata, dan Dia Allah apabila seorang berdoa kepada-Nya, ia menghadap (tangan nya) ke langit, sebagaimanabila seorang sholat, ia menghadap (dada nya) ke Ka’bah, dan bukanlah demikian karena bahwa Allah berada dilangit sebagaimana Allah tidak berada di arah Ka’bah, tetapi demikian karena bahwa langit adalah Kiblat orangberdoa, sebagaimana bahwa Ka’bah adalah Kiblat orang sholat , ataukah ia adalah sebagian dari penyembahberhala yang ada di hadapan mereka, maka manakala ia menjawab “atas langit” Rasulullah tahu bahwa ia adalahorang yang percaya kepada Allah bukan penyembah berhala. berkata al-Qadhi ‘Iyadh : tidak ada khilaf antara kaummuslimin seluruhnya, baik ulama fiqih, dan ulama Hadits, dan ulama Tauhid, dan Mujtahid dan Muqallid, bahwamakna dhohir yang datang dengan menyebutkan Allah taala di langit seperti firman-Nya “adakah kamu merasaaman dengan yang
(berkuasa) di langit ….dan seterusnya“dan seumpama nya, bukanlah maksud sebagaimanadhohir nya, tetapi dita’wilkan menurut semua kaum muslimin”.
PERHATIKAN SCAN KITAB DI BAWAH INI“Hadits ini sebagian dari Hadits-Hadits sifat, dan tentang nya ada dua Madzhab yang telah disebutka beberapa kali pada bab Iman”
Maksudnya : Nash-nash tentang sifat Allah, baik Hadits atau Al-Quran, ada dua pendapat yang kedua pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus Sunnah, sementara pendapat ketiga yakni pendapat Salafi Wahabi tidak termasuk dalam salah satu dari dua Madzhab tersebut, membuktikan bahwa Salafi Wahabi bukan saja menyalahi Madzhab Salaf, tapi juga menyalahi seluruh Ahlus Sunnah baik Salaf maupun Khalaf, dan di sini dapat dipahami bahwa metode memahami ayat dan hadits sifat tidak mesti dengan satu metode yang sama, karena ini adalah masalah khilaf, dan metode Salafi Wahabi telah menyimpang dari khilafiyah.
أحدهما الايمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيهه عن سمات المخلوقات
”yang pertama adalah beriman dengan nya tanpa masuk dalam makna nya, serta meyakini bahwa Allah taala tidak sama dengan sesuatu pun, dan mensucikan-Nya dari tanda-tanda makhluk”
Maksudnya : Madzhab atau Manhaj Ahlus Sunnah yang pertama dalam memahami nash-nash sifat adalahberiman dengan tanpa memasuki dalam pemaknaan nya, tidak mentafsirkan nya dan tidak mentakwilkan nya, artinya beriman dengan kata yang disebutkan oleh Allah untuk diri-Nya tanpa menentukan makna tertentu, serta meyakini bahwa Allah tidak sama dengan sesuatu pun, dan tidak ada sifat-sifat makhluk pada-Nya, artinya wallahu a’lam hanya Allah yang tahu dengan makna maksudnya, dan meyakini bahwa makna yang dimaksud oleh Allah adalah makna yang layak dengan keagungan-Nya, bukan makna yang terdapat keserupaan dengan makhluk, karena telah ada nash bahwa Allah tidak sama dengan sesuatu pun. Inilah Hakikat Manhaj kebanyakan para ulama Salaf, yang perlu digaris-bawahi di sini adalah “beriman dengan tidak memaknai nya” inilah yang disebutTafwidh atau Ta’wil Ijmali. Sementara Manhaj Salafi Wahabi adalah beriman dengan makna dhohir nya. Inilah fakta penyimpangan Salafi Wahabi terhadap Manhaj Salaf.
والثاني تأويله بما يليق به
“dan yang kedua adalah menta’wilnya dengan makna yang layak dengan Allah”
Maksudnya : Madzhab atau Manhaj Ahlus Sunnah yang kedua dalam memahami nash-nash sifat adalah :Menta’wilnya atau memaknai nya dengan makna yang layak dengan keagungan Allah, artinya dengan makna yang telah ada nash bahwa Allah boleh bersifat dengan sifat tersebut, inilah yang di sebut Ta’wil Tafsili, dan inilah Manhaj sebagian ulama Salaf dan Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan Manhaj ini tidak menyalahi Manhaj pertama di atas, karena sama meyakini dengan makna yang layak dengan keagungan Allah, bedanya Manhaj pertama tidak menentukan apa makna yang layak tersebut, dan Manhaj kedua ini menentukan makna yang layak tersebut, dan Salafi Wahabi juga menyalahi Manhaj ini, bahkan mereka sangat anti dengan Manhaj ini, karena Salafi wahabi memaknainya dengan makna dhohir yang di situ terdapat penyerupaan dan tidak layak dengan keagungan Allah, dan Tasybih yang ada pada makna dhohir itu tidak akan hilang meskipun di tepis dengan seribu kali berkata “tapi tidak sama dengan kaifiyat makhluk”. Maka Manhaj Salafi Wahabi meyalahi dua Manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah ini.
فمن قال بهذا قال كان المراد امتحانها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده
“maka orang yang berpendapat dengan pendapat ini (pendapat Ta’wil) berkata maksud Hadits tersebut adalah menguji nya (mencari tahu) adakah ia seorang yang bertauhid yang mengakui bahwa yang menciptakan lagi yang mengatur lagi yang maha perkasa adalah Allah semata”
Maksudnya : Setelah Imam Nawawi menguraikan dua Madzhab Ahlus Sunnah dalam menanggapi nash-nash sifat, di sini Imam Nawawi juga menjelaskan bagaimana menerapkan nya dalam masalah Hadits Jariyah ini, dan karena pada pendapat atau Madzhab yang pertama adalah “beriman dengan tidak memaknai nya” maka tidak ada penjelasan lebih lanjut untuk Madzhab pertama, maka atas Madzhab pertama ketika Rasul bertanya “aina Allah” tidak berarti Rasul bertanya dimana tempat Allah, dan juga ketika hamba tersebut manjawab “fis sama’ “ juga tidak menunjukkan Allah berada atau bersemayam di langit, karena sebagaimana telah digariskan di atas bahwa Madzhab pertama “beriman dengan tidak memaknai nya”. Imam Nawawi hanya menjelaskan panjang lebar tentang memahami Hadits Jariyah atas Madzhab yang kedua yakni “memaknai nya dengan makna yanglayak” atau di sebut dengan Ta’wil Tafsili, maka maksud Rasullullah bertanya “dimana Allah” hanya untuk mengetahui apakah hamba tersebut Muslim atau Kafir, Rasulullah bukan mempertanyakan apakah ia mayakiniAllah berada di langit atau meyakini Allah ada tanpa tempat atau meyakini Allah ada dimana-mana, cuma ketika Tuhan-Tuhan yang disembah saat itu adalah berhala, maka ketika ia menjawab “di atas langit” dapatlah diketahui bahwa ia bukan penyembah berhala, maka jawaban nya tersebut adalah caranya mengingkari berhala, bukan untuk menyatakan sebuah Aqidah bahwa Allah berada di atas langit.
وهو الذي اذا دعاه الداعي استقبل السماء كما اذا صلى المصلي استقبل الكعبة
“dan Dia Allah apabila seorang berdoa kepada-Nya, ia menghadap (tangan nya) ke langit, sebagaimana bila seorang sholat, ia menghadap (dada nya) ke Ka’bah”
Maksudnya : Ini adalah sebagai alasan atau hubungan kenapa ketika hamba tersebut manjawab “di atas langit” dapatlah dipahami bahwa ia bukan penyembah berhala tapi ia adalah orang yang percaya kepada Allah, karena orang yang berdoa meminta kepada Allah, ia menggangkat tangan ke langit, tapi tidak berarti Allah berada di langit, karena ketika orang sholat menyembah Allah, justru menghadap Ka’bah, dan fakta nya Allah tidak berada di Ka’bah, begitu juga Allah tidak berada di atas langit.
وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة
“dan bukanlah demikian karena bahwa Allah berada di langit sebagaimana Allah tidak berada di arah Ka’bah”
Maksudnya : Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa mengangkat tangan ke langit bukan karena Allah berada di langit sebagaimana menghadap Ka’bah ketika Sholat bukan karena Allah berada di Ka’bah.
بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين
“tetapi demikian karena bahwa langit adalah Kiblat orang berdoa, sebagaimana bahwa Ka’bah adalah Kiblat orang sholat”
Maksudnya : Kenapa mengangkat tangan ke atas langit ketika berdoa bila Allah bukan berada di atas langit, jawaban nya adalah karena langit adalah Kiblat orang berdoa sebagaimana Kiblat orang Sholat adalah Ka’bah, maka ketika Sholat menghadap Ka’bah tidak berarti Allah berada di Ka’bah, begitu juga ketika berdoa mengangkat tangan ke langit tidak berarti Allah berada di atas langit, inilah akidah Ahlus Sunnah waljama’ah, Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat, Allah tidak bertempat di langit sebagaimana Allah tidak bertempat di bumi.
أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثان التي بين أيديهم
“ataukah ia adalah sebagian dari penyembah berhala yang ada di hadapan mereka”
Maksudnya : ini adalah sambungan dari ..هل هي موحدة Artinya Rasulullah bertanya kepada nya untuk mengetahui apakah ia menyembah Allah atau penyembah berhala, yang tentu saja ia akan menjawab di bumi atau di rumah nya bila ia adalah penyembah berhala.
فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للأوثان
“maka manakala ia menjawab “atas langit” Rasulullah tahu bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah bukan penyembah berhala”
Maksudnya : Dari jawaban hamba tersebut “di atas langit” Rasulullah mengetahui bahwa ia adalah seorang yang percaya kepada Allah, dan inilah tujuan Rasullah bertanya “dimana Allah”. Rasulullah ingin mengetahui Islamkah dia atau bukan, Rasulullah bukan ingin mengetahui bertauhidkah dia atau tidak, dan hubungan nya sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Allah memerintahkan orang berdoa mengangkat tangan ke atas langit ketika berdoa, dan ini bukan berarti Allah berada di atas langit, maka ketika hamba tersebut menjawab kepada Rasulullah dengan “di atas langit” maka Rasulullah tahu bahwa ia beriman kepada Allah, maka Hadits ini bukan sebagai bukti atau dalil bahwa Allah berada di atas langit.
قال القاضي عياض لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالىأأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم
“berkata al-Qadhi ‘Iyadh : tidak ada khilaf antara kaum muslimin seluruhnya, baik ulama fiqih, dan ulama Hadits, dan ulama Tauhid, dan Mujtahid dan Muqallid, bahwa makna dhohir yang datang dengan menyebutkan Allah taala di langit seperti firman-Nya “adakah kamu merasa aman dengan yang (berkuasa) di langit ….dan seterusnya“dan seumpama nya, bukanlah maksud sebagaimana dhohir nya, tetapi dita’wilkan menurut semua kaum muslimin”.
Maksudnya : Sebagai penguat sekaligus rujukan terhadap apa yang telah diuraikan oleh Imam Nawawi, beliau menampilkan pernyataan al-Qadhi ‘Iyadh tentang kata “fis sama’ “ yang ada dalam al-Quran, al-Qadhi ‘Iyadh berkata : tidak ada khilaf atau telah Ijma’ semua Ulama bahwa makna dhohir dari ayat yang menunjukkan Allah di atas langit bukan maksud dhohir nya, tetapi dita’wilkan menurut semua Ulama, artinya Ijma’ wajib Ta’wil nash-nash Mutasyabihat, baik dengan Ta’wil Ijmali (Tafwidh) atau dengan Ta’wil Tafsili, dan memahami dan beriman dengan makna dhohir sebagaimana Manhaj Salafi Wahabi berarti telah melangkahi Ijma’ danmelangkahi pemahaman Ulama demi pemahaman sendiri, dan dari uraian di atas dapatlah dipastikan bahwa tidak ada satu pun Ulama Salaf dan Khalaf yang berdalil dengan Hadits jariyah seperti cara berdalil nya Salafi Wahabi, tidak ada satupun Ulama Salaf atau Khalaf yang mengatakan bahwa Hadits Jariyah adalah dalil Allah bersemayam di atas langit, na’uzubillah
Maha suci Allah dari arah dan tempat.
Hadits Jariyah Menurut Imam al-Qurthubi
Tahukah anda, bagaimana pandangan Imam al-Qurthubi tentang Hadits Jariyah? mari kita simak pemahaman beliau tentang Hadits Jariyah, adakah beliau sepakat dengan pemahaman Salafi Wahabi atau justru Salafi Wahabi telah menyalahi dan meninggalkan pemahaman beliau, sebagaimana Salafi Wahabi menyalahipemahaman Imam Syafi’i tentang Hadits Jariyah dan pemahaman Imam Nawawi tentang Hadits Jariyah dan semua ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah, sebagian Salafi Wahabi bahkan berani mengatakan Imam Nawawi sesat dalam akidah nya dalam masalah asma’ wa sifat, bahkan mungkin mereka akan mengatakan bahwa Imam al-Qurthubi juga sesat karena ternyata Imam al-Qurthubi bertolak belakang dengan akidah mereka.Imam al-Qurthubi berkata :
تنبيه: قوله عليه السلام:
((كل ما في السماوات وما في الأرض وما بينهما فهو مخلوق غير الله والقرآن))
مثل قولهتعالى: {لله ما في السماوات وما في الأرض}
فما في الآية والحديث بمعنى الذي وهي متناولة لمن يعقل وما لا يعقل منغير تخصيص فيها بوجه.
لأن كل من في السماوات والأرض وما فيهما وما بينهما خلق الله تعالى وملك له، وإذا كان
ذلك كذلك يستحيل على الله أن يكون في السماء أو في الأرض، إذ لو كان في شيء لكان محصوراً أو محدوداً، ولو
كان ذلك لكان محدثاً، وهذا مذهب أهل الحق والتحقيق.
وعلى هذه القاعدة قوله تعالى: {أأمنتم من في السماء} وقوله عليه السلام للجارية ((أين الله؟)) قالت في السماء ولمينكر عليها وما
كان مثله ليس
على ظاهره بل هو مؤول تأويلات صحيحة قد أبداها كثير من أهل العلم في كتبهم.
وقدبسطنا القول في هذا بكتاب الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى عند قوله تعالى: {الرحمن على العرشاستوى}.
“Peringatan : Sabda Nabi SAW “setiap sesuatu yang di langit dan yang di bumi dan di antara kedua nya, maka ituadalah makhluk, bukan Allah dan bukan Al-Quran
(kalam Allah)” itu seperti firman Allah “milik Allah segala sesuatuyang ada di langit dan yang ada di bumi” dan (ما)
yang ada dalam Ayat dan Hadits itu dengan makna (الذي) yaitusesuatu yang termasuk bagi yang berakal dan yang tidak berakal tanpa terkhusus dengan apa pun, karena segalasesuatu (yang berakal) di lanngit dan di bumi, dan segala sesuatu yang
(tidak berakal)
yang ada pada kedua nya,dan di antara kedua nya adalah ciptaan Allah dan milik-Nya, dan bila demikian maka mustahil bagi Allah bahwaAllah berada di langit atau di bumi, karena bila Allah berada pada sesuatu, sungguh Allah menjadi dibatasi, danbila demikian, sungguh Allah itu menjadi baharu.
Dan inilah madzhab ahlul haq dan tahqiq.
Dan berdasarkan ataskaidah ini, firman Allah taala “adakah kalian merasa aman dengan yang berkuasa di langit” dan juga sabda NabiSAW bagi seorang budak (hamba sahaya) “aina Allah
?” hamba tersebut manjawab “di langit” sedangkan Nabitidak atas jawaban nya, dan nash-nash yang seperti itu, bukanlah atas dhohir nya, tetapi dita’wilkan dengan ta’wilyang benar,
yang telah dinyatakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, dan kami pun telah menguraikanpendapat tentang ini dalam kitab al-Asna fi syarhi asma’ Allah al-husna wa sifatihi al-‘ulya, pada firman Allah taala“ar-Rahman ‘ala al-‘arsyi istawa”.[Lihat kitab at-tidzkar fi afdhali al-adzkar –halaman 13-14, karangan Imam al-Qurthubi w-671 H]PERHATIKAN SCAN KITAB DI BAWAH INI
KETERANGAN
تنبيه: قوله عليه السلام: ((كل ما في السماوات وما في الأرض وما بينهما فهو مخلوق غير الله والقرآن)) مثل قوله تعالى: {لله ما في السماوات وما فيالأرض}
“Peringatan : Sabda Nabi SAW “setiap sesuatu yang di langit dan yang di bumi dan di antara kedua nya, maka itu adalah makhluk, bukan Allah dan bukan Al-Quran (kalam Allah)” itu seperti firman Allah “milik Allah segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi”
Maksudnya : Imam al-Qurtubi pada bab ini sedang menjelaskan mana sesungguhnya Al-Quran yang hakikat sifat kalam Allah yang akibat nya menjadi kafir bila mengatakan itu makhluk, sulit nya masalah ini sehingga banyak yang salah sangka dan menduga bahwa Al-Quran (sifat kalam Allah yang qadim dan bukan makhluk) adalah Al-Quran yang diturunkan dan diwahyukan dan dibacakan dan berhuruf dan bersuara dan berbahasa Arab, dan termasuk Salafi Wahabi salah paham dalam masalah ini, sementara Imam al-Qurthubi dan semua ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi dan di antara kedua nya adalah makhluk, termasuk Al-Quran firman Allah yang diturunkan dan diwahyukan dan dibacakan dan berhuruf dan bersuara dan berbahasa Arab itu, sekalipun itu disebut juga dengan Al-Quran dan dengan kalam Allah, sementaraAl-Quran atau kalam Allah yang bukan makhluk yang menjadi sifat Allah adalah ada pada dzat Allah, tidak berhuruf dan tidak bersuara, inilah yang dimaksud dengan Al-Quran yang bukan makhluk, inilah hakikat sifat kalam Allah, dan inilah yang dihukumi kafir secara ijma’ bagi orang yang mengatakan Al-Quran ini (sifat yang adapada dzat-Nya) adalah makhluk, karena telah mensifatkan Allah dengan makhluk, maka orang yang memakhlukkan Al-Quran bukanlah orang yang mengatakan bahwa Al-Quran (yang diturunkan dan diwahyukan) adalah makhluk, karena yang diturunkan dan yang diwahyukan tersebut adalah makhluk, tetapi orang yang memakhlukkan Al-Quran adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Quran yang diturunkan dan diwahyukan itu adalah sifat kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul, karena ia telah mensifati Allah dengan makhluk (wahyu yang diturunkan), sedangkan sifat kalam Allah bukan makhluk, wallahu a’lam. Sekali lagi bahwa ini masalah yang sulit dibedakan, menjelaskan nya bahaya karena bisa salah pengertian, tidak menjelaskan nya pun lebih bahaya lagi, sehingga banyak yang tergelincir karena nya, hendak nya bagi orang yang tidak ceroboh dalam beragama berpegang dengan Ayat dan Hadits di atas yang telah diingatkan oleh Imam al-Qurthubi, yang intinya bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi dan di antara kedua nya adalah makhluk, bukan Allah dan bukan sifat-sifat Nya termasuk sifat kalam-Nya, Al-Quran yang menjadi sifat kalam-Nya ada pada dzat Allah, bukan yang ada dalam makhluk-Nya yakni langit dan bumi dan di antara nya.
فما في الآية والحديث بمعنى الذي وهي متناولة لمن يعقل وما لا يعقل من غير تخصيص فيها بوجه
“dan (ما) yang ada dalam Ayat dan Hadits itu dengan makna (الذي) yaitu sesuatu yang termasuk bagi yang berakal dan yang tidak berakal tanpa terkhusus dengan apa pun”
Maksudnya : (ما) biasa nya adalah sesuatu benda atau makhluk yang tidak berakal, tapi maksud dalam Ayat dan Hadits di atas adalah sama dengan makna (الذي) yaitu sesuatu apa pun, baik benda atau makhluk hidup, baik berakal atau tidak berakal tanpa terkecuali, termasuk Al-Quran yang diwahyukan dan diturunkan ke bumi, biar pun ini disebut juga kalamulllah, tapi bukan kalamullah sifat dzat Allah yang azali.
لأن كل من في السماوات والأرض وما فيهما وما بينهما خلق الله تعالى وملك له
“karena segala sesuatu (yang berakal) di lanngit dan di bumi, dan segala sesuatu yang (tidak berakal) yang ada pada kedua nya, dan di antara kedua nya adalah ciptaan Allah dan milik-Nya”
Maksudnya : Karena tanpa keraguan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi dan di antara kedua nya adalah makhluk dan milik-Nya, baik yang berakal maupun yang tidak berakal, maka nya (ما) yang ada dalam Ayat dan Hadits itu dengan makna (الذي), maka di pahami dari Ayat dan Hadits di atas bahwa Allah dan sifat-sifat Nya tidak ada di langit atau di bumi atau di antara kedua nya, karena segala yang ada di situ adalah makhluk dan milik-Nya, sementara Allah dan sifat-sifat Nya bukan makhluk.
وإذا كان ذلك كذلك يستحيل على الله أن يكون في السماء أو في الأرض
“dan bila demikian maka mustahil bagi Allah bahwa Allah berada di langit atau di bumi”
Maksudnya : Ketika tanpa keraguan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi dan di antara kedua nya adalah ciptaan-Nya dan kepunyaan-Nya, maka pastilah Allah mustahil berada di langit (termasuk di ‘Arasy) atau di bumi, dan apa yang di pahami oleh sebagian orang bahwa Allah berada di atas ‘Arasy adalah pemahaman yang salah dari dhohir dhohir ayat atau hadits, karena bertentangan dengan Ayat dan Hadits di atas.
إذ لو كان في شيء لكان محصوراً أو محدوداً
“karena bila Allah berada pada sesuatu, sungguh Allah menjadi dibatasi”
Maksudnya : Keberadaan Allah pada/dalam sesuatu dari pada makhluk-Nya baik langit atau bumi adalah sesuatu yang mustahil, karena menjadikan Allah terbatas pada sesuatu tersebut, padahal Allah tidak terbatas dengan sesuatu pun sebelum ada makhluk-Nya
ولو كان ذلك لكان محدثاً
“dan bila demikian, sungguh Allah itu menjadi baharu”
Maksudnya : Dan bila Allah dibatasi oleh sesuatu, sungguh Allah telah menjadi baharu dan berubah, inilah alasan kenapa Allah mustahil berada atau bertempat pada sesuatu baik langit atau bumi, dan ini pula sisi kesamaan dengan makhluk, yaitu sama-sama bersifat dengan sifat makhluk (hawadits), jadi diri sifat tersebut adalah makhluk, mensifatkan Allah dengan sifat tersebut berarti telah mensifati-Nya dengan kemakhlukan sifat tersebut, maka tidak ada guna berkilah bahwa “bersemayam Allah” dengan “bersemayam makhluk” tidak sama, karena diri sifat bersemayam tersebut adalah makhluk (sifat haditsah) yang tidak ada pada azali, sementara Allah dan segala sifat-Nya adalah qadim atau azali.
وهذا مذهب أهل الحق والتحقيق
“Dan inilah madzhab ahlul haq dan tahqiq”
Maksudnya : Pemahaman Ahlul haq yakni Ahlus Sunnah Waljama’ah dalam masalah ini, baik Salaf maupun Khalaf, adalah Allah mustahil berada pada makhluk-Nya dan makhluk pun mustahil berada pada dzat Allah, baik di langit maupun di bumi, Allah dan sifat-sifat Nya ada sebelum ada makhluk dan Allah dan sifat-sifat Nya tidak berubah atau bertambah.
وعلى هذه القاعدة قوله تعالى: {أأمنتم من في السماء} وقوله عليه السلام للجارية ((أين الله؟)) قالت في السماء ولم ينكر عليها وما كان مثله ليس علىظاهره
“Dan berdasarkan atas kaidah ini, firman Allah taala “adakah kalian merasa aman dengan yang berkuasa di langit” dan juga sabda Nabi SAW bagi seorang budak (hamba sahaya) “aina Allah ?” hamba tersebut manjawab “di langit” sedangkan Nabi tidak atas jawaban nya, dan nash-nash yang seperti itu, bukanlah atas dhohir nya”
Maksudnya : Berdasarkan kaidah ini yaitu “mustahil Allah berada pada/dalam makhluk-Nya” sesuai dengan dua ayat dan hadits di atas yakni sabda Nabi “setiap sesuatu yang di langit dan yang di bumi dan di antara kedua nya, maka itu adalah makhluk, bukan Allah dan bukan Al-Quran (kalam Allah)” dan firman Allah “milik Allah segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi” maka pada ayat dan hadits yang dhohirnya menunjukkan bahwa Allah berada di langit atau di ‘Arasy seperti firman Allah “adakah kalian merasa aman dengan yang berkuasa di langit” dan seperti pada Hadits Jariyah, ayat dan hadits yang seperti ini tidak dimaksudkan dengan dhohir makna nya yang menunjukkan Allah berada di langit, maka itu bukan dalil bahwa “Allah berada di atas langit” kecuali mereka yang condong hati nya kepada kesesatan, rela mendustai Al-Quran dan As-Sunnah demi membela akidah yang menyalahi akidah mayoritas ulama Salaf dan Khalaf.
بل هو مؤول تأويلات صحيحة
“tetapi dita’wilkan dengan ta’wil yang benar”
Maksudnya : Nash-nash yang dhohir nya menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit tersebut tidak dipahami dengan dhohir makna nya, tetapi dita’wilkan dengan ta’wil yang benar, dan ta’wil yang benar adalah ta’wil yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits, mayoritas Salaf memilih ta’wil ijmali atau tafwidh makna, dan mayoritas Khalaf memilih ta’wil tafsili, tapi perbedaan pada ta’wil ini tidak menjadi masalah, selama tidak menyalahi Al-Quran dan Hadits, dan sepakat para ulama Salaf dan Khalaf bahwa memahami nya dengan dhohir makna nya adalah menyalahi dengan Al-Quran dan Hadits.
قد أبداها كثير من أهل العلم في كتبهم
“yang telah dinyatakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka”
Maksudnya : Ta’wil-ta’wil nya telah diterangkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, lihatlah bagaimana seorang Imam al-Qurthubi sama sekali tidak anti dengan Ta’wil, dan tidak membedakan antara Salaf dan Khalaf.
وقد بسطنا القول في هذا بكتاب الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى عند قوله تعالى: {الرحمن على العرش استوى}
“dan kami pun telah menguraikan pendapat tentang ini dalam kitab al-Asna fi syarhi asma’ Allah al-husna wa sifatihi al-‘ulya, pada firman Allah taala “ar-Rahman ‘ala al-‘arsyi istawa”.
Maksudnya : Imam al-Qurthubi sendiri telah menguraikan tentang ta’wil-ta’wil nash yang dhohir makna nya menunjukkan “Allah berada di atas langit” dalam kitab nya al-Asna fi syarhi asma’ Allah al-husna wa sifatihi al-‘ulya, pada firman Allah taala “ar-Rahman ‘ala al-‘arsyi istawa”. Maka sangat jelas akidah Imam al-Qurthubi tentang nash-nahs sifat, bahwa makna dhohir bukanlah maksud dari ayat dan hadits sifat, Imam al-Qurthubi sangat mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arasy, dan pemahaman Imam al-Qurthubi tentang Hadits Jariyah adalah wajib Ta’wil dengan makna yang shohih, sebagaimana ayat dan hadits mutasyabihat lain nya. Wallahu a’lam
Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat
berkedok murnikan tauhid, manhaj takfiri sangat ditakuti Rosulullah(sahih)
dengan dalih memurnikan tauhid memfitnah umat islam sesat musyrik kafir hingga membasmi semua golongan islam seperti yg dilakukan khawarij wahabi ISIS. إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي» “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3201)
0 komentar