WAhabi Ngaku Mantan Hindu di Tangkap Polisi

5/ 5 (99)
Ust. Abdul Aziz (yang mengaku mantan pendeta Hindu) tadi malam tanggal 16 November 2011, ia ditahan di Mapolres Kulonprogo Jogjakarta, setelah mengisi ceramah yang berisi “adu domba” di Masjid Agung Wates Kulon Progo. Acara tersebut diselenggarakan oleh HTI.
Abd. Aziz (mantan hindu), Ustad Wahabi Provokator Ditangkap Polisi
Sebelumnya pihak banser meminta ke aparat kepolisian kalau nanti si abdul aziz ceramah menyinggung amaliah-amaliah NU minta agar di turunkan dari podium kalau tidak bersedia, kami dari pihak banser akan menurunkan secara halus, kalau tidak bisa ya terpaksa pakai cara kasar. Kayaknya si abdul sudah tahu kalau ditunggu banyak banser ansor dan para santri,  jadi ceramahnya landai-landai saja.
Tapi yang tidak terima adalah pendeta hindu karena menjelek-jelekan agama hindu, terus ketika pulang ceramah ia digiring oleh polisi ke mapolres. Lha di situ dari pihak NU,  MUI, Pendeta Hindu disuruh memberi tanggapan tentang isi pengajian si abdul aziz.

Selanjutnya soal cerita kebohongannya, waktu di mapolres ditanya nama ayahnya, katanya bernama ketut blablabla padahal tadi waktu ceramah bilang  ayahnya bernama made blablabla. Menurut pendeta yang ikut menyergap, kasta brahmana tidak ada yang bernama ketut yang tadi di ceramahnya mengaku kasta brahmana. Terus ditanya ayahnya belajar agama hindu di pure mana? ia menjawab belajar di lumajang pure A. Pak Kapolres yang asli Lumajang tahu kalau pure itu belum lama dibangun… bohong lagi deh.. Waktu ceramah ia bilang katanya puasa 7  hari 7amalam membaca mantra blablabla,  ternyata kata pak pendeta itu mantra yang dibaca dul aziz itu salah…bohong lagi.. Ketika ditanya KTP, katanya tidak punya KTP juga, sampai pak kapolres agak emosi memukul meja.
Kemudian dari pihak NU di mapolres menunjukan CD dan menerangkan bahwa si abdul itu menghina ibu Sinta Nuriyah (istri Gus Dur) dan memusyrikan amalan-amalan warga NU.
Ya begitulah kelihatanya menyeru takbir, kalimat tauhid dan mengklaim paling mengikuti sunnah, ternyata cuma akal busuk & tukang bohong dalam berdakwah menghalalkan segala cara untuk mencari pengikut.
BACA JUGA ARTIKEL POPULER BERIKUT :
Abd. Aziz Ngaku Mantan Hindu di tangkap polisi
Diantara hadis-hadis sahih yang menjelaskan hal ini adalah :
1.Riwayat Abdurrahman bin Al-‘Ala’ bin Al-Lajlaj, dari bapaknya. Beliau berkata, “Ayahku – Al-Lajlaj Abu Khalid – berkata kepadaku, wahai anakku! Jika aku meninggal, buatkan untukku liang kubur. Ketika kau letakkan diriku di dalam liang kubur, ucapkanlah “Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah” kemudian letakkan dengan perlahan, lalu bacalah di atas kepalaku awal dan akhir surat al-Baqarah, karena aku mendengar Rasulullah Saw mengatakan hal itu.”Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir. Al-Haitsami berkata, “Para perawinya adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya).”
Hadis ini juga diriwayatkan secara mauquf(disandarkan pada sahabat) dari Ibnu Umar Ra. seperti yang disebutkan oleh Al-Khilal dalam bagian tentang ‘membaca Al-Quran di pemakaman’, dan oleh Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, serta oleh ulama lainnya. Hadis ini dinilai hasanoleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, jika seorang di antara kalian meninggal, janganlah kalian tahan dia. Segerakanlah untuk dikubur. Bacalah surat Al-Fatihah di atas kepalanya, dan akhir surat al-Baqarah di atas kakinya di dalam kuburnya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dengan sanad yang hasan, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari. Pada riwayat lain digunakan redaksi ‘awal surat al-Baqarah‘ sebagai ganti dari ‘Al-Fatihah‘.
Masih terdapat banyak hadis lain mengenai masalah ini, akan tetapi sanad-nya lemah. Diantaranya :
Hadis Ali bin Abi Thalib Ra, beliau meriwayatkan dari Nabi Saw bersabda, “Siapa yang melewati pemakaman dan membaca surat al-ikhlas sebanyak sebelas kali, lalu menghadiahkan pahalanya kepada para mayit, maka dia akan diberi pahala senilai banyaknya orang yang meninggal .” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Khilal dalam ‘Al-Qiraah ‘ala Al-Qubur’ dan juga oleh As-Samarqandy dalam Fadhail Qul huwa Allah Ahad, serta oleh As-Salafy.
Kemudian hadis Abu Hurairah Ra, beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang masuk ke pemakaman dan membaca Al-Fatihah, Al-Ikhas, dan At-Takatsur lalu berdoa, ‘Ya Allah, sungguh telah aku hadiakan pahala dari firman-Mu yang aku baca ini untuk orang mukmin dalam makam ini’, maka mereka (ahli kubur-pen.) akan menjadi penolongnya di hadapan Allah Swt.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Al-Qasim Az-Zanjani dalam Fawaid-nya.
Kemudian hadis Anas Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang masuk ke pemakaman dan membaca surat Yasin, maka Allah akan meringankan mereka dan dia akan mendapat kebaikan senilai banyaknya mayit di pemakaman itu.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abd Al-Aziz sahabat dari Al-Khilal.
Al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid Al-Maqdisy Al-Hanbaly dalam salah satu bagian di kitab yang beliau karang untuk membahas masalah ini mengatakan, “Walaupun hadis-hadis ini dhaif (lemah), akan tetapi seluruhnya menunjukkan bahwa masalah ini memiliki dasar landasan. Orang muslim di semua kota dan di semua masa tak henti-hentinya berkumpul dan membacakan (Al-Quran dll-pen.) untuk dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal, tanpa ada yang menentang. Maka, hal ini dianggap sebagai ijma.”
  1. Hadis tentang membacakan surat Yasin untuk orang yang sudah meninggal terdapat dalam riwayat Ma’qil bin Yasar Ra., dari Nabi Saw. bersabda, “Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang sudah meninggal di antara kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim.
Imam Al-Qurthuby berkata dalam At-Tazkirah, “Hadis ini ada kemungkinan bahwa pembacaan untuk mayit adalah saat kematiannya, dan kemungkinan juga setelah dikubur.”
Al-Hafizh As-Suyuthi dalam Syarh As-Shudur mengatakan, “Mayoritas ulama memilih kemungkinan yang pertama seperti dijelaskan dalam awal kitab. Ibnu Abdul Wahid – dalam juz yang telah disebutkan sebelumnya – memilih kemungkinan kedua. Namun, Al-Muhibb At-Thabari dari kalangan mutaakhirin memilih dua kemungkinan tersebut.”
Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam Al-Fatawa mengatakan, “Ibnu Ar-Rif’ah dan ulama lain mengambil zahir-nya hadis. Mereka diikuti oleh Az-Zarkasyi dan berkata, “Dengan mengikut pendapat yang memperbolehkan menggunakan lafazh dengan makna hakiki dan majazinya, maka mengatakan sunah membacakan al-Quran untuk mayit dalam dua kondisi tersebut (sebelum dan setelah dikubur-pen.) tidak dianggap sebagai pendapat yang jauh dari benar.”
  1. Disyariatkan untuk membacakan surat al-Fatihah untuk orang yang meninggal, dikarenakan Al-Fatihah memiliki keistimewaan dalam memberikan manfaat pada mayit, memintakan rahmat dan ampunan untuknya, yang tidak dimiliki oleh surta-surat lain. Sebagaimana dalam hadis Ubadah bin As-Shamit Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda,“Ummul Quran (Al-Fatihah) bisa menggantikan surat lain, akan tetapi surat lain tidak bisa menggantikannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan disahihkan oleh Al-Hakim. Imam Bukhari menjadikannya dalam bab tersendiri dalam Sahih-nya dengan berkata, “Bab tentang membaca surat Al-Fatihah untuk jenazah”. Hal ini mencakup di dalam dan di luar shalat jenazah.
Dari berbagai hadis, sebagian menunjukkan bahwa Al-Fatihah dibaca dalam shalat jenazah. Hadis lain menunjukkan bahwa Al-Fatihah dibaca ketika menguburkan dan juga setelahnya, seperti hadis Ibnu Umar Ra yang telah disebutkan sebelumnya oleh At-Thabrani dan ulama lainnya. Ada juga hadis lain yang menunjukkan agar membacanya untuk mayit secara mutlak dalam segala kondisi, seperti hadis Ummu Afif Al-Hindiyyah Ra. berkata, “Kami berbaiat kepada Rasulullah Saw. ketika beliau membaiat kaum perempuan, beliau melarang mereka untuk berbicara kepada lelaki selain mahram, dan beliau memerintahkan kita untuk membacakan Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal.” Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir. Dan juga hadis Ummu Syuraik Ra berkata, “Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk membacakan surat Al-Fatihah kepada jenazah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
  1. Mengenai membaca Al-Quran di pemakaman, para ulama juga bersandar pada hadis Ibnu Abbas Ra, beliau berkata, Nabi melewati dua makam lalu bersabda, “mereka berdua sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar.” Kemudian beliau bersabda, “Benar, satu di antara mereka suka mengadu domba dan yang satu lagi tidak melindungi (diri dari) kencingnya.” Beliau berkata, “Kemudian Nabi mengambil kayu yang masih basah, lalu mematahkannya menjadi dua bagian, menancapkannya ke masing-masing makam, dan bersabda, “Semoga kayu itu bisa meringankan siksa mereka selama belum kering.”
Imam Al-Khatthabi berkata, “Hadis ini menunjukkan disunahkannya membaca Al-Quran di pemakaman. Hal itu disebabkan karena ketika tasbihnya pohon saja bisa diharapkan untuk meringankan azab bagi mayit, maka membaca Al-Quran tentu lebih bisa diharapkan dan lebih besar berkahnya.”
Imam Al-Qurthubi dalam At-Tazkirah berkata, “Tentang hukum membaca Al-Quran di makam, para Ulama berdalil dengan hadis tentang kayu yang masih basah yang dibelah menjadi dua oleh Nabi Saw. Mereka mengatakan, “Dari hadis ini bisa diambil kesimpulan boleh menanam pohon dan membaca Al-Quran di makam. Ketika pohon saja bisa meringankan mereka, bagaimana dengan bacaan Al-Quran seorang mukmin.” Beliau mengatakan, “Dari sini para ulama memandang bahwa hukum ziarah kubur itu sunnah, karena bacaan Al-Quran merupakan hadiah untuk mayit dari peziarahnya.”
Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim berkata, “Para ulama menganggap sunah membaca Al-Quran di pemakaman berdasarkan hadis ini. Dikarenakan ketika keringanan bisa diharapkan dari tasbihnya pelepah kurma, maka membaca Al-Quran tentu lebih utama.Wallahu A’lam.
  1. Nabi Saw shalat jenazah di pemakaman tak hanya sekali, sebagaimana diriwayatkan dalam Sahihain (Bukhari dan Muslim) dan lainnya. Sedangkan shalat mencakup pembacaan surat Al-Fatihah, shalawat kepada Nabi Saw, dzikir dan doa. Apa yang keseluruhannya boleh, maka sebagiannya saja pun boleh.
Para ulama berpendapat bahwa pahala bacaan akan sampai pada mayit sebagaimana diperbolehkannya menghajikan mayit dan sampainya pahala haji padanya. Karena haji juga mencakup shalat, dan dalam shalat terdapat bacaan Al-Fatihah dan yang lainnya. Maka apa yang keseluruhannya bisa sampai, sebagian darinya pun akan sampai pula. Maksud yang terakhir ini – walaupun ada sebagian ulama yang menentang – tapi tidak satu pun ulama yang berbeda pendapat tentang pembaca, yang memohon pada Allah Swt agar memberikan pahala yang setara dengan bacaannya, kepada mayit. Sesungguhnya hal itu akan sampai padanya, insya Allah, karena Dzat Yang Maha Pemurah pasti akan memberi ketika diminta, dan akan mengabulkan semua doa.
  1. Seperti itulah apa yang dilakukakan oleh orang muslim dari generasi ke generasi, oleh ulama khalaf yang mengikuti ulama salaf, tanpa ada yang mengingkari. Inilah yang menjadi pegangan mazhab-mazhab yang dianut, sampai Al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid Al-Maqdisi Al-Hanbali menukil adanya ijma mengenai hal tersebut – sebagaimana keterangan yang lalu. Hal itu juga dinukil oleh Syaikh Al-Utsmani dalam kitabnya Rahmat Al-Ummat fi ikhtilaf Al-Aimmah. Beliau menuliskan, “Para ulama sepakat bahwa istighfar, doa, sedekah, haji, memerdekakan budak bisa memberi manfaat kepada mayit dan pahalanya bisa sampai padanya, dan membaca Al-Quran di makam hukumnya sunah.”
Di antara atsar ulama salaf tentang hal ini adalah :
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah dalam Al-Mushannaf, dari Imam As-Sya’bi Ra, beliau berkata, “Kaum Anshar dulu membaca surat Al-Baqarah untuk mayit.” Al-Khilal dalamAl-Qiraah ‘ala Al-Qubur meriwayatkan dengan redaksi, “Kaum Anshar dulu ketika ada orang meninggal, mereka datang ke makamnya dan membaca Al-Quran.”
Al-Khilal meriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i Ra., beliau berkata, “Boleh membaca Al-Quran di pemakaman.”
Beliau juga meriwayatkan dari Al-Hasan bin As-Shabah Az-Za’farani, beliau berkata, “Aku bertanya kepada As-Syafii tentang membaca Al-Quran di makam,” beliau menjawab, “Tidak masalah.”
Al-Khilal juga meriwayatkan dari Ali bin Musa Al-Haddad, beliau berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari di hadapan jenazah. Ketika jenazah itu dikuburkan, ada seorang lelaki kurus duduk sambil membaca di atas makam. Imam Ahmad berkata kepadanya, “Hai orang ini, sesungguhnya membaca di pemakaman itu adalah bid’ah.” Ketika kami keluar dari pemakaman, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah! Apa yang engkau katakan tentang Mubassyir Al-Halaby?” Beliau menjawab, “Dia orang yang tsiqah (terpercaya)”. Imam Ahmad bertanya, “Engkau menulis sesuatu darinya?” Beliau menjawab, “Iya, Mubassyir meriwayatkan kepadaku dari Abdurrahman bin Al-‘Alla bin Al-Lajlaj dari Ayahnya, bahwasannya beliau berwasiat, ketika dikuburkan untuk membacakan pembukaan dan penutupan surat Al-Baqarah di atas kepalanya. Beliau berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar Ra berwasiat seperti itu.” Kemudian Ahmad berkata kepadanya, “Kembalilah dan katakan kepada orang laki-laki tadi, “Boleh membaca Al-Quran.”
Beliau juga meriwayatkan dari Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duury, bahwa dia bertanya kepada Yahya bin Ma’in tentang memabaca di makam, lalu beliau menceritakan kisah ini.
Para penganut mazhab yang diikuti menuliskan mengenai hal ini :
Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyyah milik mazhab Hanafi disebutkan, “Ketika mayit telah dikuburkan, disunahkan bagi peziarah untuk duduk sejenak di makam tersebut setelah selesai, kira-kira sekadar waktu penyembelihan unta dan pembagian dagingnya. Dengan membaca dan mendoakan mayit.” Dijelaskan bahwa perkataan tersebut adalah pendapat Imam Muhammad bin Al-Hasan Ra., dan para ulama Hanafiyyah mengambil pendapat ini.
Dari kalangan mazhab Maliki, para ulama muhaqqiqun (ahli) memperbolehkan hal tersebut dan berpendapat bahwa pahala bacaan akan sampai pada mayit. Pendapat ini yang dijadikan pegangan oleh ulama mutaakhirin mereka. Dalam Hasyiah Ad-Dusuqi ala Syarh Al-Kabir disebutkan, “Pada akhir Nawazil-nya Ibnu Rusyd tentang pertanyaan dalam ayat :
وأن ليس للإنسان إﻻ ما سعى
Beliau menjawab, “Jika seorang membaca dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan dan mayit mendapat pahalanya.”
Ibnu Hilal dalam Nawazil-nya berkata, “Yang menjadi fatwa ibnu Rusyd dan yang dipilih oleh lebih dari satu ulama kita di Andalus adalah bahwa mayit mendapat manfaat dari bacaan Al-Quran dan manfaatnya bisa sampai kepadanya. Dia juga mendapat pahalanya jika pembaca menghadiahkan pahalanya kepadanya, dan ini yang menjadi amalan orang muslim baik di timur maupun di barat. Begitu seterusnya, berlangsung sejak dahulu.” Kemudian beliau berkata, “Di antara hal-hal yang mengherankan adalah Izzuddin bin Abdis Salam As-Syafii datang dalam mimpi (seseorang- pen) setelah beliau wafat, kemudian beliau ditanya, “Apa yang anda katakan tentang pendapat anda dulu, yang mengingkari sampainya pahala bacaan yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal?” Beliau menjawab, “Tidak benar, kenyataannya tidak seperti yang aku duga.”
Dalam Nawazil As-Shughra milik Syaikh Al-Jamaah Sayyidi Al-Mahdi Al-Wazani Al-Maliki disebutkan, “Tentang membaca di pemakaman, Ibnu Rusyd telah menuliskan dalam Al-Ajwibah, dan Ibnu Al-Arabi dalam Ahkam Al-Quran miliknya, serta Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah, bahwasannya mayit bisa mendapat manfaat dari bacaan, baik pembaca membacakannya di makam ataupun di rumah.” Beliau menukil dari banyak ulama Malikiyyah, seperti Abu Sa’id bin Lubb, Ibnu Habib, Ibnu Al-Hajib, Al-Lukhami, Ibnu Arafah, Ibnu Al-Mawaq, dan lainnya.
Dari kalangan As-Syafiiyyah, Imam An-Nawawy berkata dalam Al-Majmu, “Para ulama madzhab kami berpendapat, bagi peziarah disunahkan untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur, dan mendoakan mayit yang diziarahi serta semua ahli kubur yang ada. Sebaiknya mengucapkan salam dan doa sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam hadis. Disunahkan juga untuk membaca sedikit ayat Al-Quran, kemudian mendoakan mereka. Hal ini dituliskan oleh Imam As-Syafii dan disepakati oleh murid-murid beliau.”
Dalam kitab Al-Adzkar beliau berkata, “Disunahkan untuk duduk sejenak setelah selesai menguburkan selama kadar penyembelihan unta dan pembagian dagingnya. Para peziarah duduk dengan menyibukkan diri membaca AL-Quran, mendoakan mayit, memberi nasihat, menceritakan kisah-kisah orang saleh. Imam As-Syafii dan murid-murid beliau mengatakan, “Disunahkan untuk membacakan ayat  Al-Quran,” mereka berkata, “Jika mereka bisa mengkhatamkan Al-Quran seluruhnya akan lebih baik.”
Beliau berkata dalam Riyadh As-Shalihin, “Imam As-Syafii Ra berkata, disunahkan untuk membacakan Al-Quran. Jika mereka bisa mengkhatamkan Al-Quran dihadapannya, itu lebih baik.”
Dari kalangan Hanabilah juga menjelaskan diperbolehkannya hal ini.
Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshaf berkata, “perkataan Imam Ahmad (tidak makruh membaca di pemakaman menurut yang paling sahih di antara dua riwayat) adalah pendapat mazhab. Hal ini disebutkan dalam Al-Furu’, dan dituliskan oleh Imam Ahmad. Pensyarah kitab tersebut berkata, “Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.” Al-Khilal dan temannya berkata, “Pendapat mazhab cuma satu riwayat, yaitu tidak makruh, dan inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama madzhab. Di antaranya Al-Qadhi, beliau berpegang pada pendapat ini dalam Al-Wajiz dan lainnya, dan mendahulukan pendapat ini dalam Al-Furu’, Al-Mughni, As-Syarh, Ibnu Tamim, Al-Faiq, dan lainnya.
Orang yang meneliti buku-buku riwayat, biografi dan sejarah akan menemukan bahwa seperti itulah yang dilakukan oleh ulama salaf, dan diikuti oleh para ulama berikutnya tanpa ada yang menentang. Termasuk juga ulama mazhab Hanabilah dan para ahli Hadis. Dalam hal ini, cukuplah bagi kita riwayat yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala ketika menyebutkan biografi gurunya, Ja’far Al-Hasyimi Al-Hanbali (w. 470 H), penganut mazhab Hanbali pada masanya. Ad-Dzahabi berkata, “Beliau dimakamkan di samping makam Imam Ahmad. Orang-orang selalu mengunjungi makam beliau. Sampai ada yang mengatakan, “Di makam beliau ini telah dikhatamkan sebanyak 10.000 khataman.”
Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah Ra – yang menganggap bahwa membaca Al-Quran di makam itu adalah bid’ah, menyalahi apa yang menjadi amalan ulama salaf dan khalaf – oleh ahli sejarah disebutkan dalam biografinya, bahwa orang-orang berkumpul mengkhatamkan Al-Quran untuk beliau di makamnya dan juga di rumah-rumah mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Hadi Al-Hanbali dan ulama lainnya. “Sejarah adalah ujian bagi sebuah madzhab,”demikian dikatakan.
Dengan demikian, membaca Al-Quran untuk dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah meninggal adalah hal yang disyariatkan, berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Quran dan hadis, yang diamalkan oleh ulama salaf, dan diikuti oleh ulama-ulama selanjutnya selama berabad-abad tanpa ada yang menentang. Baik dilakukan ketika sakaratul maut, atau setelahnya. Ketika shalat jenazah atau sesudahnya. Ketika dikuburkan atau setelahnya. Siapa yang menganggap bahwa hal itu bid’ah, justru dia sendiri yang lebih dekat dengan bid’ah. BACA JUGA ARTIKEL POPULER LAINNYA :


Berikut rincian beberapa amalan yang ada dalil menunjukkan manfaatnya amalan tersebut:

1- Haji dan Umrah
Yang membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».
Istri Sinan bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits inishahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Dalam riwayat lain,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).
Begitu pula boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,
عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».
Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).
Juga didukung oleh hadits,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dho’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

2- Qodho’ puasa wajib

Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).

3- Utang (qodho’) nadzar

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
Tunaikanlah nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)

4- Sedekah atas nama mayit

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).
setiap tahlil adalah sedekah
 setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan Laa ilaaha illah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, dan melarang kemungkaran adalah sedekah. (hr muslim)
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Lihat Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314.

5- Amalan sholih dari anak yang sholih

Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

6- Do’a untuk mayit

“Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh
sekelompok kaum muslimin yang mencapai
100 orang, lalu semuanya memberi syafa’at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa’at (do’a mereka) akan dikabulkan.” (sahih HR. Muslim no.947)
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit, baik dari anaknya, orang yang melakukan shalat jenazah untuknya, dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al Hasyr: 10). Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’). Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

7- Do’a anak yang sholih, sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya

Dalam hadits disebutkan,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
CATATAN : terputus amalnya bukan berarti tak bisa dikirimi do'a dan pahala karena semua dalil sahih diatas telah membuktikan bahwa pahala bisa di kirim atau sampai pada si mayit. adapun hadis mengenai do'a anak yang sholeh sholihah MENERANGKAN TENTANG BENTUK BENTUK AMAL SHOLEH yang terus MENGALIR OTOMATIS walau si mayit sudah tak bisa beramal lagi didunia karena sudah wafat.

8. BACAAN AL QUR'AN UNTUK SI MAYIT
Riwayat Abdurrahman bin Al-‘Ala’ bin Al-Lajlaj, dari bapaknya. Beliau berkata, “Ayahku – Al-Lajlaj Abu Khalid – berkata kepadaku, wahai anakku! Jika aku meninggal, buatkan untukku liang kubur. Ketika kau letakkan diriku di dalam liang kubur, ucapkanlah “Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah” kemudian letakkan dengan perlahan, lalu bacalah di atas kepalaku awal dan akhir surat al-Baqarah, karena aku mendengar Rasulullah Saw mengatakan hal itu.”Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir. Al-Haitsami berkata, “Para perawinya adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya).”
Hadis ini juga diriwayatkan secara mauquf(disandarkan pada sahabat) dari Ibnu Umar Ra. seperti yang disebutkan oleh Al-Khilal dalam bagian tentang ‘membaca Al-Quran di pemakaman’, dan oleh Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, serta oleh ulama lainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh Imam An-Nawawi Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, jika seorang di antara kalian meninggal, janganlah kalian tahan dia. Segerakanlah untuk dikubur. Bacalah surat Al-Fatihah di atas kepalanya, dan akhir surat al-Baqarah di atas kakinya di dalam kuburnya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman dengan sanad yang hasan, Ibnu Hajar. dari http://www.sarkub.com/abd-aziz-mantan-hindu-ustad-provokator-ditangkap-polisi/

0 komentar