Salafushalih telah menyusun kaidah-kaidah aqidah yang menerangkan aqidah islam, untuk menjaga pemahaman aqidah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yang difahami oleh sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in. Sehingga kita, umat yang ahir dari umat Nabi Muhammad SAW yang lemah iman, yaqin ,ilmu dan amal ini , tetap berada dalam aqidah islam yang shahih. Aqidah tersebut dikenal dengan aqidah sifat 50 yang menjelaskan makna kalimat Tauhid “Laa ilaha illallah – Muhammadarrasulullah”. “Laa ilaha illallah “ mengandungi 41 sifat yaitu 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah dan 1 sifat yang jaiz (boleh ) bagi Allah. Kalimat “Muhammadarrasulullah” mengandungi 4 sifat yang wajib bagi nabi Muhammad SAW(sidiq, amanah, fathonah, tabligh), 4 sifat yang mustahil, dan 1 sifat yang jaiz (boleh) bagi Muhammad SAW. Baca ” Risalah kitab aqidah sifat 20 Syaikh abdul Ghani”
Tidak ada satupun salafushalih yang
membagi-bagi iman/aqidah dalam tiga pembagian ini. Hanya syaikh abdul
wahab dan anak muridnya (sekte sesat wahabi) yang membagi aqidah menjadi
3 yaitu rububiyah, uluhiyah dan asma washifat.
Pembagian aqidah secara serampangan ini
memang sengaja dibuat oleh menyesatkan umat. Mari kita lihat hujjah
ahlusunnah atas kesesatan aqidah wahabi ini.
ULUHIYYAH DAN RUBUBIYYAH Suatu Kerapuhan Aqidah Uluhiyyah dan Rububiyyah Ciptaan Ibnu Taimiyah Pembahagian tauhid kepada dua iaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah telah dicipta dan dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah Al Harrani (wafat 728H). Pembahagian
seperti ini boleh mengelirukan terutamanya orang awam yang kurang
mendalami ilmu. Kegelincirin Dari Landasan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tidak
pernah disebut di dalam sunnah nabawiyah bahawa tauhid itu terbahagi
kepada uluhiyyah dan rububiyyah. Dan bahawa mereka yang tidak mengerti
tauhid uluhiyyah adalah yang mengetahui tauhid rububiyyah sebagaimana
yang diketahui oleh golongan musyrikin. Perkara ini tidak pernah disebut
langsung oleh mana-mana sahabat, tabi`in mahupun atba` tabi`in
termasuklah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mana yang didakwa oleh Ibnu
Taimiyah. Malah tidak terdapat juga di dalam karya-karya murid-muridnya
yang terkenal, Ibnu Al Jauzi dan Al Hafiz Ibnu Kathir.
Mari kita lihat kesesatan faham rububiyah-uluhiyah wahabi :
1. Orang kafir dianggap beriman dengan tauhid rububiyah
Hujjah Ahlusunnah atas kesesatan tersebut diatas :
AJARAN SESAT
WAHABI PERTAMA. Puak Wahabi melarang orang belajar tentang sifat 20 pada
hal ini dianjurkakn oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Ini jelas dapat
dilihat di negara Arab Saudi. Mereka menciptakan suatu pengajian tauhid
secara baru yang tidak ada sejak dahulu, baik pada zaman nabi SAW atau
pada zaman Sahabat baginda.Pengajian baru itu mereka namakan dengan
“Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah”. Tauhid ini ada 2 jenis, kata
mereka iaitu:
1. Tauhid
Rububiyah iaitu tauhidnya orang kafir dan tauhidnya orang musyrik yang
menyembah berhala, atau dengan kata lainnya “Tauhid” orang yang
syirik.2. Tauhid Uluhiyah iaitu tauhidnya orang Mukmin, tauhidnya orang
Islam serupa iman dan Islamnya puak Wahabi. Mereka mengatakan bahawa
dalam Al Quran disebut begini: ” Katakanlah (Wahai Muhammad): Kepunyaan
siapakan langit dan bumi dan semua isinya kalau kamu mengetahui? Mereka
akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah kepada mereka: Mengapa kamu
tidak mengambil perhatian?” ( Al Mukminun:84-85)
Dengan ayat ini kaum Wahabi mengatakan bahawa orang kafir pun percaya
kepada adanya Tuhan tetapi imannya tidak sah kerana menyembah berhala
disamping pengakuannya kepada adanya Tuhan iaitu Allah. Dalil lain yang
mereka ajukan adalah: “Dan kalau engkau bertanya kepada mereka siapakah
yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan matahari dan bulan,
mereka akan menjawab: Allah. Maka: Bagaimana kamu berpaling daripada
kebenaran?” (Al Ankabut:61)
Jadi
kesimpulannya, orang Wahabi, orang kafir mengakui adanya Allah tetapi
mereka menyembah selain Allah. Jadi, kata mereka, ada orang yang
mengakui adanya Tuhan tetapi menyembah selain Tuhan adalah bertauhid
Rububiyah iaitu Tauhidnya orang yang mempersekutukan Allah. Adapun
Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang sebenar-benarnya iaitu mengesakan
Tuhan sehingga tidak ada yang disembah selain Allah. Demikian pengajian
Wahabi.Pengajian seperti ini tidak pernah ada sejak dahulu. hairan kita
melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum
Tauhid. Adakah Sahabat-sahabat Nabi menamakan orang musyrik
sebagai ummat Tauhid? Tidak! Syirik dan Tauhid tidak mungkin bersatu.
Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam.
Mungkinkah bersatu siang dengan malam serentak?Begitulah juga tidak
adanya syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang. Sama ada dia
Tauhid atau Musyrik. Tidak ada kedua-duanya sekali. Jelas ini adalah
ajaran sesat dan bidaah yang dipelopori oleh puak Wahabi & kini
telah merebak ke dalam pengajian Islam teruatamnya di Timur Tengah. Kaum
Wahabi yang sesat ini menciptakan pengajian baru dengan maksud untuk
menggolongkan manusia yang datang menziarahi makam Nabi di Madinah,
bertawasul dan amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang
“kafir” yang bertauhid Rububiyah dan yang mengikuti mereka sahaja adalah
tergolong dalam Tauhid Uluhiyah. (email dari Sayyid Imran Assegraaf).
**************************************************************************************************************
wahai
wahabi itu adalah “perkataan orang-orang kafir” yang mana perkataan
mereka tidak sama seperti keyakinan didalam hati mereka dan perbuatan mereka.Dan mereka sama sekali tidak termasuk kategori “ iman“ dari segi manapun. Lihat definisi iman menurut ahlusunnah :
“iman adalah
menyakini Allah dalam hati yang diucapkan dengan lisan dan diamalkan
dengan perbuatan (kitab sulam taufiq)”. Maka penafsiran ahlusunnah dalam
ayat ini :
Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang
menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” “Dan kalau kamu
bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan
yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS.
Al Ankabut: 61) “Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya?
Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)
Mereka (orang-orang kafir dalam ayat diatas) tidak digolongkan dalam “beriman” karena ini adalah hanya sekedar “ucapan”
tapi tidak ada keyakinan dalam hati dan tidak diamalkan dalam
perbuatan. Ahlusunnah menyimpulkan “orang yang menyakini tauhid dan bisa
menjawab pertanyaan munkar-nakir dalam kubur saja yang digolongkan
telah “beriman”.
Ketahuilah wahai wahabi! Jika manusia mati dan dimasukan kedalam kubur maka akan ditanya oleh malaikat tiga perkara :
– Man rabbuka ? (Siapa Tuhan (Rabb) kamu?
Maka mukminin (orang2 yang beriman) akan menjawab : Allahu Rabbii (Allah adalah rabb (tuhan) kami!
Kenapa Allah tidak bertanya siapa ilah kamu ? (uluhiyah versi wahabi)
karena tauhid itu
adalah iman yang tidak bisa dibedakan /atau dipisah2kan (rububiyah dan
Uluhiyah)!, Seseorang yang beriman pada rubbubiyah pasti juga beriman
pada uluhiyah!.
Sedangkan aqidah sesat wahabi ini mengatakan : orang ini (orang kafir) beriman pada rububiyah tapi tidak beriman pada uluhiyah!
sungguh kesesatan tauhid yang nyata!
2.
Dalam menjelaskan makna Tauhid, Wahabi menafsirkan kalimat “laa ilaha
illallah ” tanpa menyertakan penafsiran kalimat “Muhammadarrasulullah”
Sehingga
akan mengkafirkan orang2 yang mukmin (yaqinnya hanya pada Allah) tapi
ia “bertawasul dengan nabi”, “bertabaruk dengan benda-benda peninggalan
nabi” dsb. (padahal tawasul dan tabaruk adalah sunah Para Nabi).
Hujjah ahlusunnah Dalam Perkara ini :
Dalam penafsiran makna aqidah islam tidak
boleh memisahkan antara kalimat iman “laa ilaha illallah ” Dengan
Kalimat Amal ““Muhammadarrasulullah”.
Maka kenapa ahlusunnah dan nabi adam,
nabi yusuf, shahabat nabi dan shalafushalih bertawsul dan tabaruk ?Maka
jawaban lisan kami dan keyakinan hati kami menjawab :
“Kami
yakin bahwa Makhluq (selain Allah) tidak boleh yang memberi manfaat dan
mudharat, tapi hanya Allah yang memberi manfaat dan mudharat.
Kami bertwasul dan ber-tabaruk karena Perintah Allah dan sunnah Nabi Muhammad saw”
Untuk masalah ini kami jelaskan makna kalimat tauhid “Laa ilaha illallah – Muhammadarrasulullah” :
a) Maksud Kalimat iman “laa ilaha illallah “
Ketahuilah! Bahwa kalimat “laa ilaha illallah ” adalah kalimat”iman (dalam kenyakinan/i’tiqad dalam hati”
Makna ”
Menyakini bahwa makhluq (selain Allah) tidak punya kuasa apapun!, Hanya
Allah yang punya kuasa (Hanya Allah yg dapat memberi manfaat dan
mudharat, Allah yang menciptakan, memelihara, memberi rizqi,
menghilangkan sakit, menurunkan hujan dsb.)”
Seperti : Makan tidak boleh memberi kenyang, tapi Allah yang memberi kenyang!
Minum tidak boleh menghilangkan haus, tapi Allah yang menghilangkan Haus!
inilah maksud kalimat ini, sedangkan
kenapa kita makan, minum dsb? Akan dijelaskan dengan kalimat tauhid yang
kedua “Muhammadarrasulullah”
b). Maksud kalimat amal “Muhammadarrasulullah”
Maka Kalimat iman “laa ilaha illallah ”
dalam iqrar al’ubudiyah (janji penghambaan kita pada Allah /syahadat )
tidak boleh dipisahkan dengan Kalimat amal yaitu “Muhammadarrasulullah”.
Maksudnya : Segala perbuatan yang akan membawa kejayaan didunia dan ahirat adalah hanya dengan mengikut sunah nabi Muhammad saw.
Jadi, kita akan jawab : “Saya yakin bahwa makanan tidak boleh yang memberi kenyang, tapi Allah yang memberi kenyang. Saya Makan karena Perintah Allah dan sunnah Nabi Muhammad saw”
– (karena Allah perintahkan untuk makan adan bekerja yang halal “kuluu minathayibati wa’malu shalihaa”(al qur’an)
– dan juga rasulullah makan dan minum dgn penuh adab dan do’a (lihat kitab hadits bab makan ).
Jadi mengenai tawassul dan tabaruk :
Maka jawaban lisan kami dan keyakinan hati kami menjawab :
“Kami yakin bahwa Makhluq (selain Allah) tidak boleh yang memberi manfaat dan mudharat, tapi hanya Allah yang memberi manfaat dan mudharat.
Kami bertwasul dan ber-tabaruk karena Perintah Allah dan sunnah Nabi Muhammad saw”
Dalil-tawasul dan Tabaruk :
Nabi Adam Bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Sebelum Nabi Muhammad Lahir Umar ra. berkata bahwa baginda Rasulullah SAW berkata : “Tatkala
Nabi Adam a.s. telah berbuat kesalahan (yang dengan sebab itu nabi Adam
a.s. telah dihantar dari sorga ke dunia ini maka baginda a.s.
senantiasa berdoa dan beristighfar sambil menangis-nangis). Sekali
beliau mengangkat kepalanya ke langit dan memohon : “Ya Allah aku memohon (keampunan) kepada Engkau dengan berkat Muhammad SAW “ Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya : “Siapakah Muhammad SAW ini, yang engkau memohon keampunan dengan berkatnya? Baginda
a.s menjawab : Ketika Engkau jadikan aku, maka sekali daku melihat ke
‘arsymu dan terpandang tulisan Laa ilaha illallahu
Muhammadurrasuulullahi (Tidak ada tuhan yang berhaq disembah melainkan
Allah – Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah). Maka aku yakin bahwa
tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya disisiMu yang namanya Engkau
letakan bersama Nama Mu”. Lantas
Allah mewahyukan kepada baginda a.s. : ” Wahai Adam, sesungguhnya dia
adalah Nabi Akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka
pasti aku tidak akan menciptakanmu” (Dikeluarkan dari Thabrani dalam Jami’ushaghir dan juga Hakim dan Abu Nu’aim dan Baihaqi keduanya dalam dalam kitab ad-dalail).
Keterangan : Pada masa itu apa dan dengan cara bagaimanakah baginda
Adam as memohon keampunan kepada Allah SWT tentang hal ini didapati
berbagai macam riwayat tetapi tidak ada perselisihan dalam riwayat
tersebut. Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi Adam as pernah menangis yang
jika tangisan seluruh manusia dikumpulkan maka tidak akan menyamai
tangisan Adam as. Sehingga baginda tidak mengangkat kepalanya ke langit.
Didalam sebuah hadits diterangkan : “Andaikata titisan airmata nabi
Adam as ditimbang dengan titisan airmata seluruh anak cucunya. Maka
titisan air mata beliaulah yang akan memberati.” Maka dalam keadaan
yang sedemikian itu bagaimana baginda bermunajat dan memohon pengampunan
itu tidak mungkin diduga oleh manusia biasa. Oleh itu tentang cara-cara
mengenai memohon keampunan yang diterangkan dalam hadits diatas
tidaklah terdapat kesukaran apapun. Salah satunya adalah memohon
keampunan dengan bekat baginda SAW dan tertulisnya kalimah “laa ilah
illallah Muhammadurrasulullah” di Arsy juga disebutkan dalam hadits yang
lain. Baginda SAW bersabda : Saat aku memasuki syurga (pada malam
mi’raj) aku melihat kedua belah pintu surga tertulis 3 baris kalimat.
Kalimat Pertama : Laa ilaha illallahu Muhammadurrasuulullahi (Tidak ada tuhan yang berhaq disembah melainkan Allah – Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah)
Kalimat kedua : maa qaddamnaa wajadnaa wamaa akalnaa rabihnaa wamaa
khalafnaa khasarnaa “Apa-apa yang telah kami hantar kemuka (sedekah
dsb) telah diterima. Apa-apa yang telah kami makan (didunia) telanh
menguntungkan kami. Dan apa-apa yang kami tinggalkan (didunia) telah
merugikan kami Kalimat ketiga : “ummatummadznibatun warabbun
ghafuurun” “Umat adalah pendosa dan Tuhan pengampun” (Fadhilat Dzikir,
Hadits 2 Jadi
telah jelas bahwa Nabi Adam bertawasul dengan nabi Muhammad SAW sebelum
nabi dilahirkan karena ketinggian derajat Nabi Muhammad SAW dan Nama
Nabi MUhammad Tertulis di ‘Arsy. Jadi saat rasulullah
belum dilahirkan, saat rasulullah hidup maupun saat rasulullah sudah
wafat….maka dibolehkan bertawasul dengan keberkatan Nabi SAW. (karena
ketinggian derajat Nabi Muhammad SAW dan Nama Nabi MUhammad Tertulis di
‘Arsy).
3. Kesesatan tauhid Asma’washifat wahabi adalah mengambil makna dhahir af’al (perbuatan) Allah dalam ayat dan hadits Mutasyabihat. Sehingga mensifati Allah dengan sifat makhluq seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka :
Tuhan duduk, Tuhan Di arsy, Tuhan dilangit, Tuhan punya dua tangan,
punya jari-jari, punya dua kaki, tuhan berlari kecil, tuhan berjalan,
tuhan naik turun dsb.
Hujjah Ahlusunnah atas kesesatan ini :
mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa yg zahir itu beda dng zahirnya makhluk….kami bertanya : lalu makna zahir mana yg mereka katakan “menerima secara zahir” ?? I
nilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg berakal seperti ini…..
2. yang punya keyakinan keyakinan kalian bahwa Tuhan bersemayam di ‘arsy.
manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘arsy :
seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘arsy, maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”.
3. Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)….. semua makhluq tdk ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawah….smua makluq tdk ada,karena Allah blm ciptakan…..) pada saat itu dimana Allah?
dan setelah Allah ciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana allah?
Ingat : Sifat allah tetap tdk berubah..sifat allah tdk sama dgn makhluq
4 .kenapa kalian solat masih hadap kekiblat, katanya Allah diatas?
ingat Langit Hanyalah kiblat Do’a….bukan tempat bersemayam Allah….
ingat : Allah ada tanpa tempat dan arah
Biar wahabi ga pening jawab…ane kasih kunci jawabannya :
WAHABI TIDAK IMANI SIFAT QIDAM DAN ZAMAN AZALI
Qidam = sudah sedia ada ( adanya tidak didahului oleh tidak adanya)
Dalil : huwal awwalu wal akhiiru Huwa yaitu Allah, al awwalu, Dzat yang awal, wal akhiiru dan Dzat yang akhir
Sifat mustahil / lawan ( muhal ) qidam = huduts ( baru )
SEDANGKAN MAKHLUQ ADALAH BARU…..
DEFINISI MAKHLUQ DAN ZAMAN AZALI :
[ 1. قال الله تعالى : [لَيس كَمْثله شىءٌ] [سورة الشورى: 11
Allah ta’ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda.
Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda.
Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
كَانَ اللهُ ولَم ي ُ كن شىءٌ غَي ره ” (رواه ” :r 2. قال رسول الله البخاري والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata: “Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum Menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
أَنت الظَّا ه ر فَلَيس فَوقَك شىءٌ وأَنت ” :r 3. قال رسول الله الْبا ط ن فَلَيس دونك شىءٌ ” (رواه مسلم وغيره)
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah- Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
SEDANGKAN IBNU TAIMIYAH DAN WAHABI TIDAK MENGAKUI ADANYA ZAMAN AZALI …
TIDAK MENGAKUI “BAHWA ALLAH ITU ZAT YANG ADA TANPA ADA PERMULAAN”
tIDAK MENGAKUI BAHWA “ADANYA MAKHLUQ DICIPTAKAN OLEH ALLAH. DAN MAKHLUQ ADA PERMULAAN”
PADAHAL MAKHLUQ ADALAH BARU ATAU HADITS
INI DIBUKTIKAN KETIKA DITANYA:
DIMANAKAH ALLAH PADA ZAMAN AZALI (PADA ZAMAN DIMANA ALLAH BELUM MENCIPTAKAN SEMUA MAKHLUQ, BELUM MENCIPTAKAN, ARSY, LANGIT, ARAH, TEMPAT, ATAS, BAWAH DSB”)????
MEREKA AKAN MENJAWAB ALLAH BERTEMPAT DIATAS/ DILANGIT/ DIARSY/ NAIK TURUN DSB INILAH BUKTI MEREKA TIDAK MENGIMANI ZAMAN AZALI
UNTUK LEBIH JELAS DOWNLOAD AQIDAH AHLUSUNNAH : http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Kitab_Al-%5EAqidah_print3.pdf
0 komentar